"Hei, duduk sini!!", ia berteriak kepadaku saat aku asik bermain dengan ombak di pinggir pantai.
Aku berlari mendekatinya. Tampak ia seperti sedang sibuk menyiapkan sebatang kayu. Bukan, bukan untuk dibakar, tapi untuk ku duduki dengannya, menatap ke arah laut dan langit.
Kami, aku dan Nusa, kini siap menyambut kedatangannya.
Kami terdiam, yang ramai hanya suara deburan ombak dan pikiran kita masing-masing.
"Laut baik ya", kata Nusa tiba-tiba
"Hah? Kok gitu?"
"Aku berutang budi"
aku hanya diam, menatapnya.
"Dia memberiku banyak hal yang tidak pernah bisa diberikan daratan, yaitu ketenangan" lanjutnya
"Tapi, bukannya lautan bisa melenyapkan mu kapan saja?"
"Tidak, buktinya aku disini".
Aku hanya terdiam, lagi. Merasakan sesuatu yang entah senang atau sedih ini.
"Nusa, dia mulai datang!!"
Aku berteriak kegirangan, layaknya anak paud yang mendapat mainan baru. Nusa hanya tersenyum.
Sore itu, untuk kali pertama aku melihat senja di Banda Neira. Bersama pantai dan Nusa.
"Ternyata aku nggak perlu beli rumah minimalis di pegunungan hanya untuk melihat senja, ya." kataku dengan sedikit terkekeh
"Kucingmu juga paling tidak akan menikmatinya", kata Nusa ikutan terkekeh
Aku menolah-noleh, memastikan tidak ada orang lain disana
"Kenapa?" Tanya Nusa
"Takut ada pedagang asongan pinggir jalan yang mau jual senjanya" jawabku
Kita tertawa bersama.
"Jadi keinget tukang pos. Apa sekarang anak-anaknya sudah menjadi manusia lumba-lumba dewasa?" tanyaku.
"Kabarnya sih begitu. Katanya, menghayati senja sama pentingnya dengan berdo'a di dalam kuil" , Nusa masih sangat hafal sekali isi buku itu.
Ya, buku "Sepotong Senja Untuk Pacarku" karya Seno Gumira, darinya, masih kusimpan, dan akan selalu kusimpan.
"Aku pengen keliling Indonesia naik motor sambil jualan kopi", katanya.
"Mimpi yang aneh"
"Lebih tepatnya konyol, haha"
"Tapi kedengarannya seru. Kabarin kalo udah nemu senja lagi".
"Kamu mau nyusul?"
"Kirim aja lewat tukang pos"
Kami kompak tertawa.
Tiba-tiba Nusa tampak sibuk meraba-raba kantong sakunya. Dan ternyata, dia membawa selembar kertas dan pensil.
"Nikmati saja senjamu, aku tidak mau kalah sama Sukab." kata Nusa yang membuatku bingung.
Entah apa yang akan dia lakukan. Tentu saja dia tidak akan pernah sama seperti Sukab yang malang itu. Yang repot-repot mengirimkan senja di dalam amplop, dan baru sampai kepada Alina 10 tahun setelahnya.
Lalu Nusa memberikan selembar kertas kepadaku. Tampak sebuah tulisan diatasnya.
Senja kini telah diketemukan diantara pantai, gunung, dan gedung-gedung kota,
Senja telah diketemukan diantara daun-daun yang mulai kering dan bunga yang mulai mekar,
Senja telah diketemukan diantara milyaran orang yang berlalu lalang ditengah panas sinarnya,
Senja juga telah diketemukan diantara sedih, senyum, tawa,
Dan sekali lagi, senja sudah kutemukan diantara lesung pipimu,
Ya, senja itu adalah senyumanmu
- Karya Nusa yang semoga tidak malang, dari Banda Neira
"Wow, ada penerus Sukab ternyata." kataku setelah membaca puisi darinya
"Sukab dengan keahliannya menangkap senja, sedang aku hanya menikmati senja hasil tangkapannya yang diberikan ke Alina."
"Kamu nggak ikutan nangkap juga?"
"Jika nanti kutangkap separuhnya, tentu bumi akan gelap. Toh senjanya sudah ada di senyumanmu, kenapa harus kutangkap."
Aku hanya bisa tersenyum.
"Terimakasih Nusa, telah mengenalkanku pada senja yang sesungguhnya. Aku senang".
"Senang juga jika bisa membuatmu senang"
Begitulah sore itu, bersama Nusa yang semoga tidak malang nasibnya.
Tidak terasa senja sudah hampir hilang. Warna oren jingganya kini mulai surut dan berubah menjadi gelap malam.
Sangat sebentar. Sangat sementara.
Mungkin begitu juga denganku dan Nusa. Kita tidak pernah tahu berapa senja lagi yang bisa kita nikmati bersama. Yang pasti aku sangat bersyukur menemukannya diantara puluhan juta orang berlalu lalang. Senang dia ada dan hidup di bumi. https://www.tiktok.com/@backpackerkurus/video/7195985355852598554
Tidak ada komentar:
Posting Komentar